Apakah Pasar Mobil Listrik Indonesia Memang Belum Menarik?
Pameran kendaraan listrik terbesar di Indonesia, Periklindo Electric Vehicle Show (PEV) 2025, resmi digelar di JIExpo Kemayoran dengan semangat tinggi dan ambisi besar untuk menunjukkan kesiapan Indonesia dalam menyambut era elektrifikasi. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain: suasana pameran terasa lengang, jauh dari ekspektasi penyelenggara. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar — benarkah era mobil listrik di Indonesia belum benar-benar dimulai?
Gempuran Brand Tiongkok, Ke Mana Produsen Jepang dan Eropa?
Salah satu hal yang mencolok dari PEV 2025 adalah dominasi merek-merek asal Tiongkok. Mulai dari BYD, Wuling, DFSK hingga pendatang baru seperti Neta, semuanya tampil agresif dengan lini produk lengkap, fitur canggih, jarak tempuh impresif, dan yang paling penting: harga yang sangat kompetitif.
Sebaliknya, merek-merek otomotif yang selama puluhan tahun mendominasi pasar Indonesia seperti Toyota, Honda, Mitsubishi, Hyundai, hingga brand Eropa seperti Mercedes-Benz dan BMW, justru terlihat pasif. Beberapa hanya menampilkan satu-dua model, bahkan sebagian memilih absen total dari ajang ini. Padahal, secara global mereka memiliki portofolio EV yang cukup kuat.
Lalu, mengapa para pemain lama itu seperti enggan ikut “berpesta” di pasar kendaraan listrik Indonesia?
Menunggu Waktu atau Tidak Tertarik?
Kondisi ini bisa dibaca dari dua sisi. Pertama, bisa jadi para pabrikan besar itu masih menunggu waktu yang tepat. Brand Jepang seperti Toyota dan Honda dikenal berhati-hati, apalagi dalam mengambil keputusan investasi besar. Mereka cenderung menunggu ekosistem berkembang terlebih dahulu — mulai dari infrastruktur pengisian daya, insentif pemerintah, hingga kesiapan konsumen.
Kedua, kemungkinan lain adalah mereka memang belum melihat Indonesia sebagai pasar yang cukup menjanjikan untuk mobil listrik dalam waktu dekat. Meskipun pemerintah sudah mendorong berbagai insentif, dari subsidi hingga keringanan pajak, adopsi EV di Indonesia masih sangat rendah, dan tantangan strukturalnya belum sepenuhnya teratasi.
Mengapa Brand Jepang dan Eropa Belum Semarak?
Beberapa alasan yang melatarbelakangi minimnya partisipasi brand Jepang dan Eropa dalam geliat mobil listrik Indonesia antara lain:
-
Pasar Belum Cukup Menarik Secara Volume
Mobil listrik murni (BEV) masih menyumbang kurang dari 1% dari total penjualan mobil nasional. Bagi pabrikan global, angka ini belum cukup untuk justifikasi investasi besar atau produksi lokal. -
Strategi Global yang Berbeda
Pabrikan Jepang lebih fokus pada hybrid sebagai solusi jangka menengah, sedangkan pabrikan Eropa memprioritaskan negara-negara dengan insfrastruktur dan daya beli tinggi. Indonesia belum menjadi prioritas utama mereka. -
Harga Jual yang Kurang Kompetitif
Struktur biaya produksi brand Jepang dan Eropa lebih tinggi dibandingkan merek Tiongkok. Hal ini membuat harga jual EV mereka terasa "mahal" dan tidak cocok dengan pasar Indonesia yang sangat sensitif terhadap harga. -
Kendala Produksi Lokal dan Insentif
Pemerintah mendorong produksi lokal melalui berbagai insentif, namun belum semua pabrikan memiliki fasilitas atau mitra lokal. Tanpa perakitan dalam negeri, produk mereka terkena pajak lebih tinggi. -
Infrastruktur Charging yang Terbatas
Brand premium biasanya sangat bergantung pada jaringan pengisian daya yang memadai. Karena jaringan charging Indonesia masih terbatas, terutama di luar kota besar, mereka cenderung menunggu ekosistem berkembang lebih dulu. -
Adaptasi Produk untuk Pasar Lokal
Banyak EV buatan Jepang dan Eropa dirancang untuk kondisi iklim, jalan, dan gaya hidup yang berbeda. Tanpa penyesuaian khusus, produk tersebut bisa kurang cocok bagi konsumen Indonesia.
Lalu, Apakah Prospek EV di Indonesia Suram?
Tidak juga. Meskipun sepi dan belum semarak seperti di negara lain, pasar Indonesia memiliki potensi besar, terutama karena tingginya populasi, tren urbanisasi, dan mulai terbentuknya kesadaran lingkungan. Dominasi awal oleh merek Tiongkok bisa menjadi “pemantik” yang membuat pasar bergerak lebih cepat — bahkan memaksa pabrikan lama untuk segera merespons.
Justru jika di masa depan brand Jepang, Korea, dan Eropa mulai serius masuk dan memproduksi EV di Indonesia, itu adalah tanda kuat bahwa pasar ini memang dianggap prospektif dan siap tumbuh besar.
Kesimpulan: Pasar Belum Matang, Tapi Bukan Tidak Menarik
Sepinya PEV 2025 seharusnya tidak langsung disimpulkan sebagai kegagalan atau pertanda buruk. Ini hanyalah gambaran dari pasar yang masih berada di fase awal. Ketika infrastruktur lebih siap, harga baterai menurun, dan kesadaran konsumen meningkat, pasar ini akan berubah. Para pemain lama hanya menunggu waktu yang tepat untuk masuk dengan strategi yang lebih solid — dan saat itu tiba, lanskap otomotif Indonesia bisa berubah secara signifikan.
Komentar
Posting Komentar